Minggu, 22 Maret 2009



MASHLAHAH SEBAGAI ELAN VITAL FIQH
Dari apa yang telah dilakukan para ahli ushul ketika mereka mengkaji mashlahah tampak adanya kehati-hatian yang luar biasa untuk tidak jatuh pada sikap pengabaian terhadap syara’. Bahkan demikian ini juga tampak pada sikap thufi yang memegangi metode takhshish dan bayan, tidak ta’thil dan iftiat ketika mendahulukan mashlahah daripada nash. Demikian pula kehati-hatian tersebut juga tampak, ketika ia membatasi aplikasi teori mashlahah hanya pada bidang mu’amalah dan adat saja, tidak pada bidang ibadah. Bahkan telah yang dilakukan Hasan Hamid sampai pada kesimpulan bahwa nash yang diakui adanya kemungkinan berlawanan dengan mashlahah –yang kemudian diutamakan mashlahah daripada nash-tersebut adalah nash yang dhanniy. Adapun nash yang dari segala aspeknya adalah qath’iy, Thufi menolak terjadinya pertentangan dengan mashlahah, lebih-lebih lagi untuk mendahulukan mashlahah atas nash tersebut. Tentu saja kehati-hatian tersebut tampak lebih nyata lagi pada ahli-ahli ushul yang lain yang tidak seekstrem Thufi.

Berkenaan dengan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam konteks kemoderenan dewasa ini, apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman patut memperoleh perhatian. Metode penafsiran Qur’an yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dipergunakan berikut ini untuk mempersiapkan modifikasi di atas dengan beberapa penyesuaian. Pertama: Diperlukan pemahaman yang komprehenship historis terhadap nash-nash yang aplikasinya akan dimodifikasi untuk dapat melahirkan kemashlahatan dalam kontek kemoderenan. Kedua: Diperlukan upaya memilah-milah antara moral edeal nash dan legal spesifikasinya. Ketiga: Memahami perubahan-perubahan sosial serta berbagai tuntutannya dalam kaitanya dengan kemoderenan. Keempat:Memagangi moral edeal nash tersebut, kemudian merumuskan legal spesifik baru dalam upaya melakukan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam kontek kemoderenan dewasa ini.

Jika dibangun di atas prinsip seperti ini, fiqh akan mampu menghadirkan paradigma yang akomodatif terhadap perubahan-perubahan, dengan kata lain akan akan terwujud fiqh transformatif. Ini tidak berarti bahwa fiqh harus selalu transformatif, ada pula fiqh formatif, yaitu fiqh yang tidak akomodatif terhadap perubahan-perubahan. Fiqh jenis ini berkaitan dengan bidang ibadat pada umumnya. Fiqh formatif diperlukan untuk tetap terpeliharanya kemurnian hukum Islam, sedangkan fiqh transformatif diperlukan agar hukum tersebut tetap dapat eksis kapan dan di mana saja yakni tetap shalih li kull zaman wa makan.

ANTARA FIQH FORMATIF DAN FIQH TRANSFORMATIF
Ketika fiqh yang semestinya formatif dipandang transformatif, yang terjadi kemudian ialah masuknya ajaran-ajaran imitasi ke dalam Islam , atau tereduksinya ajaran-ajaran tersebut, Sehingga lenyap kemurniannya. Sedang jika fiqh yang seharusnya transformatif diperlakukan sebagai fiqh formatif, terjadilah fosilisasi dan oleh karena itu fiqh menjadi stagnant. Fiqh haruslah tetap dikembangkan, baik yang transformatif maupun yang fprmatif. Kegagalan mengembangkan fiqh transformatif pada giliranya akan menyebabkan fiqh tidak eksis memberikan pedoman yang berguna bagi realitas kehidupan masyarakat, yang oleh karena itu akan out of date. Pengembangan fiqh formatif juga diperlukan. Akan tetapi hal itu bukan dimaksudkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang berakibat berubahnya hukum, namun untuk memberikan legitimasi, baik filosofi maupun ilmiah sehingga hukum tersebut bertambah kokoh teryakini secara imani dan intelektual.

Sekalipun terhadap kedua-duanya harus dilakukan kajian pengembangan, namun jika diletakkan pada skala prioritas, tampaknya fiqh transformatif menduduki prioritas utama. Demikian ini dikarenakan fiqh transformatif menyangkut bagian terbesar dari aktifitas manusia. Lebih-lebih jika diperhatikan kajian di luar disiplin keislaman, telah melahirkan berbagai pengetahuan yang semakin terspesialisasi, sementara fiqh masih menempatkan kajian politik, ekonomi misalnya menjadi bagian, sedang kedua pengetahuan tersebut dewasa ini merupakan kajian yang berdiri sendiri tidak tergabung dalam disiplin hukum. Inilah salah satu kendala yang menyebabkan fiqh kurang dapat menjelaskan realitas kehidupan manusia dengan baik.

Sementara itu, terdapat sebab-sebab lain mengapa fiqh kurang dapat menjelaskan hal tersebut, serta kurang menampilkan wajah agama yang akomodatif terhadap perubahan. Sebab-sebab ini anatara lain terletak pada aspek manusianya. Dalam hal ini, fanatisme madzhab merupakan sebab yang menjadikan fiqh tidak akomodatif terhadap perubahan. Terutama jika suatu madzhab sudah tidak relevan lagi bagi upaya-upaya mewujudkan dan menampilkan asas kemashlatan dan keadilan yang merupakan elan vital hukum Islam. Tampaknya sering dilupakan, bahwa hasil-hasil ijtihad masa lampau itu pada umumnya terkait dengan kondisi dan situasi setempat, sehingga oleh karena itu bersifat ad hoc. Memang pada tempat dan waktu itu hasil ijtihad tersebut dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan umum syari’at. Akan tetapi karena sifatnya yang ad hoc maka dengan berubahnya tempat dan masa berubah pula tingkat dukungan itu, bahkan bisa menjadi nihil, bahkan lagi menjadi minus yang berarti justru melahirkan kemudlaratan-kemudlaratan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kemashlahatan dan keadilan.

Masih berkaitan dengan sebab-sebab di atas, pendekatan tekstual secara membabi buta terhadap nash juga dapat menyebabkan kegagalan fiqh mengakomodasi adanya perubahan. Oleh karena itu kajian ushul fiqh mengenai al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah dibarengi dengan al-qawa’id a;-ushuliyyah al-tasyri’iyyah. Berdasarkan kaidah, memang makna lafdhiy yang diutamakan, sepanjangtidak ada indikator yang memalingkannya. Akan tetapi harus diingat bahwa indikator itu juga termasuk ketika natijah hukum yang diambil itu bertentangan dengan asas dasar hukum Islam, misalnya kemashlatan umum dan keadilan. Dalam kondisi demikian kaidah kebahasan harus ditinggalkan, dan mesti beralih kepengurusan kaidah tasyri’iyah.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa fiqh sebagai khazanah intelektual Islam dibangun berdasarkan metodologi yang sophisticated yang tidak saja dalam wujudnya sebagai fiqh formatif, tetapi terutama pada bentuk transformatif. Orisinilitas menjadi perhatian penting dalam membangun fiqh formatif, yang dengan demikian blue print agama ini tetap terpelihara dengan baik. Elan Vital kemashlahatan telah menjadi fiqh transformatif menjadi khazanah dinamik dari gerakan pemikiran Islam yang senantiasa teraktualisasi sesuai dengan tuntutan kekinian dan kedisinian.

SEKILAS TENTANG FIQH: ANTARA FORMATIF DAN TRANSFORMATIF (Bagian 2)


METODE KAJIAN FIQH

Dari segi metode yang dipakai, kajian fiqh mengenal tiga tipe. Pertama, dirasah al-fiqh ‘ala al-madzhab aw al-madzahib. Kedua, dirasah al-figh al-muqaram. Ketiga, dirasah al-masail al-fighiyyah al-haditsah. Tipe pertama, memaparkan dalil, istidlal, dan natijah hukum dari suatu madzhab atau madzhab-madzhab. Tipe kedua, memaparkan dalil istidlal, dan natijah hukum dari madzhah-madzhab, dilanjutkan dengan paparan tentang persamaan, perbedaan, kekuatan dan kelemahan dalil dan istidlal masing-masing. Model ketiga, menentukan hukum kejadian-kejadian baru masa kini terutama yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan pemakaian teknologi, dengan cara menggunakan manhaj al-istinbath. 

Ilmu fiqh biasaynya didefinisikan sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syar’iy praksis yang didapat dari dalil-dalilnya secara rinci atau koleksi hukum-hukum syar’I praksis yang diperoleh dari dalilk-dalilnya secara rinci. Dalam aspek aliran, fiqh mengenal dua madzhab besar yaitu syi’iya dan sunniy. Syi’iy terbagi menjadi Zaidiy, Ja’fariy, Isma’illiy. Sedang sunniy meliputi Malikiy, Hanafiy, Syafi’iy, Hanbaliy, dan lain-lainnya.

Fiqh sebagai bagian dari hukum Islam. Dibangun diatas asas-asas sebagai berikut:’nafy al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadarruj, ri’ayah mashalih al-nas jami’an, iqamah-al-adalah. Oleh karena fiqh itu dibangun -antara lain- di atas prinsip mashlahah, maka timbul pertanyaan, apakah mashlahah itu tetap, tidak pernah berubah. Jawabanya adalah jelas bahwa mashlahah itu bisa berubah-ubah karena perubahan sosial. Jawaban demikian adalah sangat sederhana, namun konsekwensinya terhadap teori mashlahah sangat besar. Misalnya, apakah nash-nash Qur’an atau Sunnah itu harus diaplikasikan seperti aplikasi pada masa Nabi SAW yang jelas-jelas pada waktu itu menimbulkan kemashlahatan bagi tegaknya tujuan-tujuan umum syara’ yang disebut al maqashid al-khamsah, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan serta harta benda? Jika jawabannya adalah ya, berarti terdapat pengabaian terhadap prinsip bahwa kemashlahatan itu dapat berubah karena perubahan sosial. Sebaliknya jika jawabanya tidak, maka giliranya agama akan kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu perlu adanya pemilah-milahan, antara nash-nash yang aplikasinya memerlukan modifikasi baru sesuai dengan tuntutan perubahan sosial. Tentu saja hasil modifikasi tersebut harus tetap efektif dapat memelihara al-maqashid al-khamsah di atas. ( bagaimana menurut saudara......)! to be continue

Jumat, 20 Maret 2009

FIQH TRANSFORMATIF ( Bagian ke I )

Filsafat Hukum

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al-Quran dan atau Sunnah. Kendati demikian, dalam rangka mencari makna dunia dan kehidupan, berlandaskan pada nilai etika universal kitab suci dan refleksi nilai etika keseharian masyarakat yang berkembang dari zaman ke zaman. Tinggal bagaimana mukallaf berhadapan dengan teks-karunia Tuhan itu.

Berhadapan secara langsung dengan teks keagamaan, memungkinkan bahwa sebuah teks hukum dikemukakan secara jelas oleh pembuat hukum (wetgevers). Jelas, hukum tersebut mudah untuk dimengerti.

Kejelasan hukum, tidak memerlukan eksplanasi atau penelitian linguistik yang terlalu jauh terlibat langsung dengan kerumitan filosofis yang mengiringi. Dengan demikian, penggunaan manhaj al-istinbath klasik seperti qiyas, istishlah, istihsan dan sebagainya semenatara tidak terlalu diperlukan.

Secara tidak langsung, jika hukum tersebut tidak disebut dengan jelas, untuk mempermudah memahami makna dan hikmah hukum, pemakaian manhaj kebahasaan klasik, tetap berguna. Pengerahan potensi intelektual secara optimal tetap menjadi nilai penting, baik secara umum, maupun secara spesifik pada penalaran legis dan analisis integratif-kontekstual kontemporer.

Sebagai perwujudan aktivitas pembacaan, maka makna hukum Islam dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan institusi-institusi Islam, dan dalam pranata-pranata sosial masyarakat Islam. Inilah konsekuensi dari dimensi kesejarahan hukum agama, praksis pembacaan atas segala teks keagamaan dan mungkin tidak salah kalau akibat-akibat langsungnya menghadirkan suatu peradaban teks (hadharah al-nash) yang secara riil menyentuh kehidupan kemasyarakatan.

Fiqh ini merupakan suatu produk. Khusus dalam bidang hukum, maka para sarjana hukum Islam bersepakat menyebutnya fiqh saja. Fiqh merupakan salah satu khazanah intelektual Islam yang diperkirakan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat Islam. Substansi pengetahuan ini dibangun di atas landasan metodologis Ushul al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqhiyyah, di samping pergulatan intelektual berada di bawah pengaruh sosiokultural fuqaha yang bersangkutan.

Penguasaan terhadap pengetahuan fiqh, paling tidak ditujukan pada hal berikut ini. Pertama, aspek state of the art, yakni penguasaan pengetahuan tentang pembentukan dan keseluruhan perkembangan fiqh secara historis, termasuk yang bersifat kekinian. Kedua, aspek filosofis, suatu analisis yang ditekankan pada nalar ilmiah, sebagai dasar pengetahuan yang termanifestasi dalam artikulasi secara eksplisit sebagai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasari fiqh. Ketiga, pendalaman dan perluasan nalar, yaitu penguasaan mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul disekitar disiplin keilmuan fiqh tersebut.

Bagian pertama meliputi legal exposition, dan legal history dari fiqh. Eksposisi hukum fiqh terdiri: al-ibadah, al-ahwal al-syakhshiyyah, al-mu'amalah al-madaniyyah, al-ahkam al-maliyyah wa al-iqtishadiyyah, al-uqubah, al-murafa'ah, al-ahkam al-dusturiyyah, al-ahkam al-dawliyyah dan lain sebagainya, sejauh mana pembaca memberi konsentrasi yang tematik. Sejarah hukum fiqh atau tepatnya sejarah sosial hukum Islam tidak saja memaparkan secara kronologis mulai terbentuknya dan perkembangannya sampai sekarang, tetapi juga menganalisis pengaruh sosio-kultural fiqh dan kehidupan masyarakat dewasa ini. Dalam kaitanya dengan ini, yang terpenting adalah refleksi kesejarah-sosial bagi pengembangan fiqh dewasa ini dan di masa depan. Bagian kedua mencakup kajian falsafahnya yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi fiqh.

Bagian ketiga, menyangkut kemampuan menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah fiqh, baik berkaitan dengan lampau, sekarang dan yang akan datang.