Rabu, 16 Desember 2009

Bedah Buku "Fiqh Seksualitas"


Peran Ulama Fiqh sangat penting untuk rujukan pedoman bagi umat Islam dalam menghadapi kasus-kasus dan permasalan keagamaan. Mengingat dinamika sosial dan perubahan zaman yang terus bergerak maka fatwa ulama fiqh senantiasa ditunggu dan menjadi hal yang urgen sebagai pencerahan yang solutif. Tidak hanya kasus-kasus ibadah ritual dan muamalah yang menjadi problema umat sekarang ini, namun dengan semakin maraknya kelompok-kelompok baru yang muncul dan mengklaim dirinya bagian dari Islam, yang terkadang aspek teologis dan ritual keaagamaannya sama namun instrumen dan aktifitas gerakannya berbeda, atau bahkan ada beberapa kelompok yang teologis dan ritual keaagamaannya terkadang jauh menyimpang dari ajaran Islam yang telah baku (telah lama menjadi anutan). Disinilah kualitas dan kapabilitas ulama fiqh diuji.


Kitab kuning yang sebagai khazanah intelektual keislaman masa lalu adalah perlu sebagai bahan merujuk bagi ulama fiqh sekarang. Karena kitab klasik ini kaya dengan prouduk-produk kajian keislaman termasuk di dalamnya hukum Islam (fiqh). Namun Mengingat fatwa-fatwa ulama (pengarang kitab kuning) tersebut adalah produk anak zaman yang mengakomodasi permasalahan umat di masanya dengan latar belakang sosial, budaya dan tingkat pemahaman yang umat mereka yang berbeda. Maka wajar bila produk hukum merekapun berbeda satu dengan yang lainnya. Bahkan ulama kitab klasik (kitab kuning) ini terkadang susah untuk menanggalkan atau melepas baju golongannya sehingga produk-produk fiqihnyapun senantiasa seiring dan sejalan dengan fatwa pendahulunya. Oleh karenanya kitab kuning sebagi khazanah klasik hendaknya diletakkan secara proporsional dan cerdas ketika menjadi bahan rujukan ulama dalam mengupas permasalahan hukum Islam (fiqh) kekinian.


Buku Fiqh Seksualitas adalah karya anak muda mencoba membahas kasus-kasus seksualitas kekinian. Adalah sangat menarik untuk dibaca khususnya bagi kaum muda Islam mengingat pola pergaulan anak muda sekarang kian hari kian jauh dari nilai-nilai etika sosial dan moralitas keagamaan. Buku yang ditulis oleh Abdul Wahid Somat, mahasiswa FAI jurusan Tarbiyah semester 7 UMM Malang ini, mencoba mengupas kasus-kasus seksual yang dialami anak muda sekarang. Bagaimana mereka harus bersikap dan bertindak diusia baru mengenal kebutuhan seksual. Terkadang mereka terjebak dalam pilihan yang dilematis, antara memenuhi hasrat seksual dengan kewajiban studi atau harus menikah sementara belum ada kemampuan layaknya sebagai kepala keluarga. Bagi mereka yang imannya mudah goyah sering kali salah menentukan sikap, menganggap bahwa hubungan seksual pra nikah beresiko lebih ringan dan bahkan menjadi hal yang biasa. Dan menganggap bahwa pernikahan adalah ending dari hubungan yang dijalin dengan pasangan/kekasihnya ketika segala sesuatunya telah siap.


Selain membahas seks pra nikah dan paska nikah buku Fiqh Seksualitas ini juga mencoba membahas Nikah lintas agama. Berdasar kajian kitab kuning dengan mengacu kepada pendapat empat mazhab (hambali, maliki, syafi’i dan hanafi) yang kemudian disandingkan dengan fatwa-fatwa ulama kontemporer seperti Mahmoud Syaltut, Yusuf Qordhawi, Wahbah Zuhaili dan juga keputusan komisi fatwa Ulama mesir dan MUI Indonesia.

Mengingat bahwa al Qur’an dan Hadits membolehkan menikahi wanita non muslimah (Yahudi atau Nasrani) maka penulis mencoba menggali lebih dalam tentang keberadaan agama Yahudi dan Nasrani dalam hal keabsahan monoteisme mereka. Kalau dimasa awal Islam kaum Yahudi dan Nasrani sebagian masih ada yang berpegang teguh dengan ajaran murni Rasul mereka. Akan tetapi setelah Islam menjadi satu-satunya agama yang benar di sisi Allah dan ditambah penyelewengan pengikut Yahudi dan Nasrani terhadap rasulnya semakin nyata maka masih relevankah nikah lintas agama (yahudi dan nasrani) dibolehkan.

Pada bab terakhir buku ini membahas nikah sirri dalam prespektif Islam dan hukum Negara suatu bahasan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan.


Terkait dengan bedah buku "Fiqh seksualitas" yang diselenggarakan di Padepokan HIzbul Wathan, Jum'at 18 Desember 2009 (jam 19.00 WIB) maka forum ini adalah sangat penting bagi kader-kader muda ulama tarjih Muhammadiyah. Semoga sukses dan bertambah khazanah keilmuannya.

Jaya…..

Senin, 14 Desember 2009

Kelompok Ternak Unggas






Alhamdulillah, tahap demi tahap program padepokan mulai terwujud, sejak berdirinya salah satu misi Padepokan Hizbul Wathan adalah membina dan mewujudkan sikap wirausaha santrinya. Maka sejak bergulirnya dana bantuan pemerintah lewat dinas peternakan, kegiatan ekonomi bersama dengan payung Padepokan dapat dimulai, usaha ekonomi tersebut diawali di bidang peternakan khususnya ternak unggas. adapun nama kelompok usaha ini adalah Kelompok Ternak Unggas Padepokan Hizbul Wathan.

Dua hal utama yang menjadi enter point dari kegiatan ini; pertama, pembinaan dan pelatihan sekaligus praktek langsung cara beternak unggas (ayam arab petelor). Untuk memperoleh skill dan kemampuan yang baik, maka kegiatan ini didampingi oleh sarjana peternakan yang telah berpengalaman. Fauzi,SPt sarjana peternakan alumni UMM Malang yang cukup lama berkiprah di dunia peternakan siap membimbing dan membina anggota kelompok ternak unggas padepokan HW. Sebagai seorang SMD (sarjana membangaun desa), dia siap mencurahkan ilmu dan pengalamannya kepada seluruh anggota, sehingga ke depan setiap anggota kelompok ini bisa dilepas dan mandiri. Begitu pula Pak Sobri Dosen UMM Malang yang pernah memperoleh piagam MURI, beliau juga siap untuk membantu dan menjadi konselor setiap saat bagi anggota kelompok usaha ternak ini.

Kedua, permodalan, kendala usaha yang selama ini membebani santri padepokan HW adalah modal, alhamdulillah dengan dikucurkannya bantuan dana dari pemerintah, muncullah usaha mandiri dibidang peternakan. Otomatis menjadi kegiatan ekonomi tambahan bagi anggota kelompok yang memang sudah kerja, dan menjadi alternatif lapangan kerja bagi mereka yang memang belum mendapat kesempatan kerja.

Namun demikian karena keterbatasan dana bantuan tersebut, sehingga pemanfaatan dan distribusi permodalan pun juga sangat terbatas. Untuk sementara baru bisa dinikmati beberapa santri, padahal masih banyak santri-santri yang lain yang perlu juga disuntik permodalan untuk menggiatkan semangat kewirausahaan. Mudah-mudahan ke depan pemerintah dapat mengucurkan kembali dana bantuan kepada Padepokan demi terujudnya jiwa-jiwa entrepreneur di kalangan santri.

Di sela-sela pengajian jum'at malam KH Abdullah Hasyim Pengasuh Padepokan Hizbul Wathan memberikan tausiyah terkait dengan grand opening usaha ternak ini, lewat ceramah beliau yang bertemakan ekonomi islam, beliau menyatakan bahwa, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikerjakan bagi seorang pelaku ekonomi. Antara lain kesungguhan, kerja keras, siap bersaing dengan sehat, sabar dan ulet, dan mengindahkan etika islam dalam berbisnis serta senantiasa berdoa kepada Allah SWT.

Rabbana hablana ilman nafi'a a rizqan waasi'a wa syifa'an min klli daa'in


Sabtu, 28 November 2009

Makna Berqurban bagi umat Islam


"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yg banyak. Maka dirikanlah salat krn Tuhanmu dan sembelihlah hewan . Sesungguhnya orang-orang yg membenci kamu dialah yg terputus? "


Pemberian ni’mat oleh Allah kepada manusia tak terhingga. Anak isteri dan harta kekayaan adl sebagian ni’mat dari Allah. Kesehatan dan kesempatan juga ni’mat yg sangat penting. Manusia juga diberi ni’mat pangkat kedudukan jabatan dan kekuasaan. Segala yg dimiliki manusia adl ni’mat dari Allah baik berupa materi maupun non materi. Namun bersanmaan itu pula semua ni’mat tersebut sekaligus menjadi cobaan atau ujian fitnah atau bala? bagi manusia dalam kehidupannya. Allah berfirman ?Dan ketahuilah bahwasanya harta kekayaanmu dan anak-nakmu adl fitnah . Dan sesungguhnya Allah mempunyai pahala yg besar?.
Meskipun Allah memberikan ni’mat-Nya yg tak terhingga kepada manusia tetapi dalam kenyataan Allah melebihkan apa yang diberikan kepada seseorang daripada yg lain. Sehingga ada yg kaya raya cukup kaya miskin bahkan ada yang menjadi seorang papa gelandangan berteduh di kolong langit. Demikian juga ada yg menjadi penguasa ada yg rakyat jelata. Ada pimpinan/ kepala dan ada bawahan / anak buah. Ini semua juga dalam rangka cobaan bagi siapa yang benar-benar mukmin dan siapa yg hanya mukmin di bibir saja.
Salah satu bukti bahwa seorang mukmin telah lulus cobaan dalam ni’mat harta kekayaan adl ia dgn ikhlas mengunakannya utk ibadah haji. Sehingga bagi orang demikian akan memperoleh haji yg mabrur. Sedang haji mabrur pahalanya hanyalah surga sebagaimana sabda Nabi SAW ?Orang yg dapat mencapai haji yg mabrur tiada pahala yg pantas baginya selain surga?. .
Betapa gembira dan bahagianya orang kaya yg dapat mencapai haji mabrur demikian. Belum lagi jika ia sempat salat berjamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi maka tiada terkira lagi pahalanya. Namun ini konteksnya adl orang yang kaya. Sedang orang yg tidak mampu / miskin tidak perlu berkecil hati. Bagi kita yg tidak mampu maka konteksnya terkandung dalam hadis Nabi SAW berikut “Hajinya orang yg tidak mampu adalah berpuasa pada hari Arafah .?
Itulah maka sangat disayangkan bila di antara kita ada yg menyia-siakan kesempatan dari Allah yakni tidak mau berpuasa pada tanggal 9 Zul Hijjah yg disebut puasa Arafah itu.
Cobaan tentang harta kekayaan juga berkaitan dgn pelaksanaan ibadah udhiyah yakni menyembelih hewan yang terkenal dgn hewan qurban di hari raya. Karena pada hari ini Allah mensyariatkan utk ber-udhiyah {menyembelih hewan} maka hari raya ini disebut dgn hari raya Adha wa biha sumiya yaumal-adha. Demikian juga penjelasan Rasulullah SAW ?Hari raya fitrah adl pada hari manusia berbuka menyudahi puasa Ramadan. Sedangkan hari raya Adha adl pada hari manusia ber-udhiyah ? .
Maka salah satu bukti lagi bahwa seseorang lulus dari cobaan harta adl ia dgn ikhlas mau mengunakannya untuk ber-udhiyah baik itu berupa sapi kerbau maupun kambing. Ini tergantung pada kemampuan masing-masing. Seekor kambing boleh digunakan utk satu orang beserta keluarga seisi rumahnya. Sedang sapi / kerbau boleh utk tujuh orang beserta keluarga seisi rumah mereka masing-masing. Daging sembelihan ini termasuk syiar agama yakni utk dimakan menjamu tamu diberikan kepada yg meminta atau yg tidak meminta {orang mampu}. Daging ini juga boleh disimpan utk dimakan hingga hari tasyrik . Allah berfirman ?Makanlah sebagiannya dan utk memberi makan orang yg tidak meminta dan orang yg meminta?. {QS. Al-Hajj 36}.
Sementara Nabi bersabda ?Makanlah utk memberi makan dan simpanlah !?
Sementara itu cobaan besar terhadap sesuatu yg dimiliki manusia pernah dialami Abul Anbiya? Khalilurrahman Ibrahim AS. Beliau telah lulus ujian atau cobaan dari Allah. Hal ini didokumentasikan dalam Al-Qur?an ?Dan ketika Ibrahim diberi cabaan oleh Tuhannya dgn beberapa kalimat lalu Ibrahim lulus dalam cobaan itu. Allah berfirman ?Sesungguhnya Aku menjadikan kamu hai Ibrahim Imam semua manusia ..?. ?
Kelulusan Ibrahim tidak hanya dalam melaksanakan perintah Allah tetapi juga dalam kebijaksanaannya menyampaikan perintah itu kepada anaknya yg sangat dicintainya. Beliau tidak langsung mengambilnya tiba-tiba dan tidak pula mencari kelengahan atau dgn taktik menculik teror dan intimidasi. Meskipun Ibrahim memiliki massa yg banyak tetapi beliau tidak menggunakan massa agar anaknya bertekuk lutut di hadapannya. Perintah Allah disampaikannya dgn transparan penuh argumentasi Ilahiah.
Sedangkan Ismail anak yg patuh dan mengerti kedudukan orang tuanya dan posisinya sebagai anak ia tidak membangkang dan tidak bimbang. Ismail memberikan jawaban yg memancarkan keimanan tawaddu? dan tawakkal kepada Allah bukan utk menonjolkan kepahlawanan atau kegagahan mencari popularitas. Ia tidak melakukan unjuk rasa yang konfrontatif tanpa mengindahkan akhlakul karimah atau dgn kekerasan utk memprotes kehendak bapaknya.
Sungguh dua tokoh bapak dan anak ini merupakan uswah hasanah bagi umat manusia. Bahkan syariat Nabi Muhammad SAW merupakan syariat yg dulunya telah diwahyukan Allah kepada Ibrahim . Maka kita menyembelih hewan qurban di hari ?Idul Adha ini termasuk meneladani sunnah Ibrahim sebagaimana sabda Nabi SAW ?Sunnatu abikum Ibrahim.? .
?Idul Adha memiliki makna yg penting dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah. Makna ?Idul Adha tersebut
Menyadari kembali bahwa makhluk yg namanya manusia ini adl kecil belaka betapapun berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita mengumandangkan takbir Allahu akbar !
Menyadari kembali bahwa tiada yg boleh di-Tuhankan selain Allah. Menuhankan selain Allah bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman jahiliah. Di zaman globalisasi ini orang dapat menuhankan tokoh lebih-lebih lagi si Tokoh itu sempat menjadi pucuk pimpinan partainya menjadi presiden/wakil presiden atau ketua lembaga perwakilan rakyat. Orang sekarang juga cenderung menuhankan politik dan ekonomi. Politik adalah segala-galanya dan ekonomi adl tujuan hidupnya yg sejati. Bahkan HAM menjadi acuan utama segala gerak kehidupan sementara HAT diabaikan. Inilah makna kita kumandangkan kalimah tauhid La ilaha illallah !
Menyadari kembali bahwa pada hakikatnya yg memiliki puja dan puji itu hanyalah Allah. Maka alangkah celakanya orang yg gila puja dan puji sehingga kepalanya cepat membesar dadanya melebar dan hidungnya bengah bila dipuji orang lain. Namun segera naik pitam wajah merah dan jantung berdetak melambung bila ada orang yang mencela mengkritik dan mengoreksinya. Inilah makna kita kumandangkan tahmid Wa lillahil-hamd !
Menyadari kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau bepergian yg suatu saat rindu utk pulang ke tempat tinggal asal yakni tempat yg mula-mula dibangun rumah ibadah bagi manusia Ka?bah Baitullah. Inilah salah satu makna bagi yg istita?ah tidak menunda-nunda lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia disadarkan kembali bahwa pada hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam ikatan satu keimanan. Siaopa pun dia dari bangsa apapun adl saudara bila ia mukmin atau muslim. Tetapi bila seseorang itu kafir adl bukan saudara kita meskipun dia lahir dari rahim ibu yg sama. Maka orang yg pulang dari haji hendaknya menjadi uswah hasanah bagi warga sekitarnya tidak membesar-besarkan perbedaan yg dimiliki sesama muslim terutama dalam hal yg disebut furu?iyah.
Menyadari kembali bahwa segala ni’mat yg diberikan Allah pada hakikatnaya adl sebagai cobaan atau ujian. Apabila ni’mat itu diminta kembali oleh yg memberi maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini jadi konglomerat esok bisa jadi melarat dgn hutang bertumpuk jadi karat. Sekarang berkuasa lusa bisa jadi hina tersia-sia oleh massa. Kemaren jadi kepala kantor dgn mobil Timor entah kapan mungkin bisa jadi bahan humor krn naik sepeda bocor. Sedang ni’mat yg berupa harta hendaknya kita ikhlas utk berinfaq di jalan Allah seperti utk ber-udhiyah .
Percayalah dalam hal harta apabila kita ikhlas di jalan Allah niscaya Allah akan membalasnya dgn berlipat ganda. Tetapi jika kita justru kikir pelit tamak bahkan rakus tunggulah kekurangan kemiskinan dan kegelisahan hati selalu menghimpitnya.
Akhirnya semoga ?Idul Adha dgn berbagai ibadah yg kita laksanakan sekarang ini dapat membangunkan kembali tidur kita . Kemudian kita berihtiar lagi sekuat tenaga utk memperbanyak amal saleh sebagai pelebur amal-amal buruk selama ini. Amin !

Minggu, 22 Maret 2009



MASHLAHAH SEBAGAI ELAN VITAL FIQH
Dari apa yang telah dilakukan para ahli ushul ketika mereka mengkaji mashlahah tampak adanya kehati-hatian yang luar biasa untuk tidak jatuh pada sikap pengabaian terhadap syara’. Bahkan demikian ini juga tampak pada sikap thufi yang memegangi metode takhshish dan bayan, tidak ta’thil dan iftiat ketika mendahulukan mashlahah daripada nash. Demikian pula kehati-hatian tersebut juga tampak, ketika ia membatasi aplikasi teori mashlahah hanya pada bidang mu’amalah dan adat saja, tidak pada bidang ibadah. Bahkan telah yang dilakukan Hasan Hamid sampai pada kesimpulan bahwa nash yang diakui adanya kemungkinan berlawanan dengan mashlahah –yang kemudian diutamakan mashlahah daripada nash-tersebut adalah nash yang dhanniy. Adapun nash yang dari segala aspeknya adalah qath’iy, Thufi menolak terjadinya pertentangan dengan mashlahah, lebih-lebih lagi untuk mendahulukan mashlahah atas nash tersebut. Tentu saja kehati-hatian tersebut tampak lebih nyata lagi pada ahli-ahli ushul yang lain yang tidak seekstrem Thufi.

Berkenaan dengan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam konteks kemoderenan dewasa ini, apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman patut memperoleh perhatian. Metode penafsiran Qur’an yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dipergunakan berikut ini untuk mempersiapkan modifikasi di atas dengan beberapa penyesuaian. Pertama: Diperlukan pemahaman yang komprehenship historis terhadap nash-nash yang aplikasinya akan dimodifikasi untuk dapat melahirkan kemashlahatan dalam kontek kemoderenan. Kedua: Diperlukan upaya memilah-milah antara moral edeal nash dan legal spesifikasinya. Ketiga: Memahami perubahan-perubahan sosial serta berbagai tuntutannya dalam kaitanya dengan kemoderenan. Keempat:Memagangi moral edeal nash tersebut, kemudian merumuskan legal spesifik baru dalam upaya melakukan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam kontek kemoderenan dewasa ini.

Jika dibangun di atas prinsip seperti ini, fiqh akan mampu menghadirkan paradigma yang akomodatif terhadap perubahan-perubahan, dengan kata lain akan akan terwujud fiqh transformatif. Ini tidak berarti bahwa fiqh harus selalu transformatif, ada pula fiqh formatif, yaitu fiqh yang tidak akomodatif terhadap perubahan-perubahan. Fiqh jenis ini berkaitan dengan bidang ibadat pada umumnya. Fiqh formatif diperlukan untuk tetap terpeliharanya kemurnian hukum Islam, sedangkan fiqh transformatif diperlukan agar hukum tersebut tetap dapat eksis kapan dan di mana saja yakni tetap shalih li kull zaman wa makan.

ANTARA FIQH FORMATIF DAN FIQH TRANSFORMATIF
Ketika fiqh yang semestinya formatif dipandang transformatif, yang terjadi kemudian ialah masuknya ajaran-ajaran imitasi ke dalam Islam , atau tereduksinya ajaran-ajaran tersebut, Sehingga lenyap kemurniannya. Sedang jika fiqh yang seharusnya transformatif diperlakukan sebagai fiqh formatif, terjadilah fosilisasi dan oleh karena itu fiqh menjadi stagnant. Fiqh haruslah tetap dikembangkan, baik yang transformatif maupun yang fprmatif. Kegagalan mengembangkan fiqh transformatif pada giliranya akan menyebabkan fiqh tidak eksis memberikan pedoman yang berguna bagi realitas kehidupan masyarakat, yang oleh karena itu akan out of date. Pengembangan fiqh formatif juga diperlukan. Akan tetapi hal itu bukan dimaksudkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang berakibat berubahnya hukum, namun untuk memberikan legitimasi, baik filosofi maupun ilmiah sehingga hukum tersebut bertambah kokoh teryakini secara imani dan intelektual.

Sekalipun terhadap kedua-duanya harus dilakukan kajian pengembangan, namun jika diletakkan pada skala prioritas, tampaknya fiqh transformatif menduduki prioritas utama. Demikian ini dikarenakan fiqh transformatif menyangkut bagian terbesar dari aktifitas manusia. Lebih-lebih jika diperhatikan kajian di luar disiplin keislaman, telah melahirkan berbagai pengetahuan yang semakin terspesialisasi, sementara fiqh masih menempatkan kajian politik, ekonomi misalnya menjadi bagian, sedang kedua pengetahuan tersebut dewasa ini merupakan kajian yang berdiri sendiri tidak tergabung dalam disiplin hukum. Inilah salah satu kendala yang menyebabkan fiqh kurang dapat menjelaskan realitas kehidupan manusia dengan baik.

Sementara itu, terdapat sebab-sebab lain mengapa fiqh kurang dapat menjelaskan hal tersebut, serta kurang menampilkan wajah agama yang akomodatif terhadap perubahan. Sebab-sebab ini anatara lain terletak pada aspek manusianya. Dalam hal ini, fanatisme madzhab merupakan sebab yang menjadikan fiqh tidak akomodatif terhadap perubahan. Terutama jika suatu madzhab sudah tidak relevan lagi bagi upaya-upaya mewujudkan dan menampilkan asas kemashlatan dan keadilan yang merupakan elan vital hukum Islam. Tampaknya sering dilupakan, bahwa hasil-hasil ijtihad masa lampau itu pada umumnya terkait dengan kondisi dan situasi setempat, sehingga oleh karena itu bersifat ad hoc. Memang pada tempat dan waktu itu hasil ijtihad tersebut dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan umum syari’at. Akan tetapi karena sifatnya yang ad hoc maka dengan berubahnya tempat dan masa berubah pula tingkat dukungan itu, bahkan bisa menjadi nihil, bahkan lagi menjadi minus yang berarti justru melahirkan kemudlaratan-kemudlaratan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kemashlahatan dan keadilan.

Masih berkaitan dengan sebab-sebab di atas, pendekatan tekstual secara membabi buta terhadap nash juga dapat menyebabkan kegagalan fiqh mengakomodasi adanya perubahan. Oleh karena itu kajian ushul fiqh mengenai al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah dibarengi dengan al-qawa’id a;-ushuliyyah al-tasyri’iyyah. Berdasarkan kaidah, memang makna lafdhiy yang diutamakan, sepanjangtidak ada indikator yang memalingkannya. Akan tetapi harus diingat bahwa indikator itu juga termasuk ketika natijah hukum yang diambil itu bertentangan dengan asas dasar hukum Islam, misalnya kemashlatan umum dan keadilan. Dalam kondisi demikian kaidah kebahasan harus ditinggalkan, dan mesti beralih kepengurusan kaidah tasyri’iyah.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa fiqh sebagai khazanah intelektual Islam dibangun berdasarkan metodologi yang sophisticated yang tidak saja dalam wujudnya sebagai fiqh formatif, tetapi terutama pada bentuk transformatif. Orisinilitas menjadi perhatian penting dalam membangun fiqh formatif, yang dengan demikian blue print agama ini tetap terpelihara dengan baik. Elan Vital kemashlahatan telah menjadi fiqh transformatif menjadi khazanah dinamik dari gerakan pemikiran Islam yang senantiasa teraktualisasi sesuai dengan tuntutan kekinian dan kedisinian.

SEKILAS TENTANG FIQH: ANTARA FORMATIF DAN TRANSFORMATIF (Bagian 2)


METODE KAJIAN FIQH

Dari segi metode yang dipakai, kajian fiqh mengenal tiga tipe. Pertama, dirasah al-fiqh ‘ala al-madzhab aw al-madzahib. Kedua, dirasah al-figh al-muqaram. Ketiga, dirasah al-masail al-fighiyyah al-haditsah. Tipe pertama, memaparkan dalil, istidlal, dan natijah hukum dari suatu madzhab atau madzhab-madzhab. Tipe kedua, memaparkan dalil istidlal, dan natijah hukum dari madzhah-madzhab, dilanjutkan dengan paparan tentang persamaan, perbedaan, kekuatan dan kelemahan dalil dan istidlal masing-masing. Model ketiga, menentukan hukum kejadian-kejadian baru masa kini terutama yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan pemakaian teknologi, dengan cara menggunakan manhaj al-istinbath. 

Ilmu fiqh biasaynya didefinisikan sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syar’iy praksis yang didapat dari dalil-dalilnya secara rinci atau koleksi hukum-hukum syar’I praksis yang diperoleh dari dalilk-dalilnya secara rinci. Dalam aspek aliran, fiqh mengenal dua madzhab besar yaitu syi’iya dan sunniy. Syi’iy terbagi menjadi Zaidiy, Ja’fariy, Isma’illiy. Sedang sunniy meliputi Malikiy, Hanafiy, Syafi’iy, Hanbaliy, dan lain-lainnya.

Fiqh sebagai bagian dari hukum Islam. Dibangun diatas asas-asas sebagai berikut:’nafy al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadarruj, ri’ayah mashalih al-nas jami’an, iqamah-al-adalah. Oleh karena fiqh itu dibangun -antara lain- di atas prinsip mashlahah, maka timbul pertanyaan, apakah mashlahah itu tetap, tidak pernah berubah. Jawabanya adalah jelas bahwa mashlahah itu bisa berubah-ubah karena perubahan sosial. Jawaban demikian adalah sangat sederhana, namun konsekwensinya terhadap teori mashlahah sangat besar. Misalnya, apakah nash-nash Qur’an atau Sunnah itu harus diaplikasikan seperti aplikasi pada masa Nabi SAW yang jelas-jelas pada waktu itu menimbulkan kemashlahatan bagi tegaknya tujuan-tujuan umum syara’ yang disebut al maqashid al-khamsah, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan serta harta benda? Jika jawabannya adalah ya, berarti terdapat pengabaian terhadap prinsip bahwa kemashlahatan itu dapat berubah karena perubahan sosial. Sebaliknya jika jawabanya tidak, maka giliranya agama akan kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu perlu adanya pemilah-milahan, antara nash-nash yang aplikasinya memerlukan modifikasi baru sesuai dengan tuntutan perubahan sosial. Tentu saja hasil modifikasi tersebut harus tetap efektif dapat memelihara al-maqashid al-khamsah di atas. ( bagaimana menurut saudara......)! to be continue

Jumat, 20 Maret 2009

FIQH TRANSFORMATIF ( Bagian ke I )

Filsafat Hukum

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al-Quran dan atau Sunnah. Kendati demikian, dalam rangka mencari makna dunia dan kehidupan, berlandaskan pada nilai etika universal kitab suci dan refleksi nilai etika keseharian masyarakat yang berkembang dari zaman ke zaman. Tinggal bagaimana mukallaf berhadapan dengan teks-karunia Tuhan itu.

Berhadapan secara langsung dengan teks keagamaan, memungkinkan bahwa sebuah teks hukum dikemukakan secara jelas oleh pembuat hukum (wetgevers). Jelas, hukum tersebut mudah untuk dimengerti.

Kejelasan hukum, tidak memerlukan eksplanasi atau penelitian linguistik yang terlalu jauh terlibat langsung dengan kerumitan filosofis yang mengiringi. Dengan demikian, penggunaan manhaj al-istinbath klasik seperti qiyas, istishlah, istihsan dan sebagainya semenatara tidak terlalu diperlukan.

Secara tidak langsung, jika hukum tersebut tidak disebut dengan jelas, untuk mempermudah memahami makna dan hikmah hukum, pemakaian manhaj kebahasaan klasik, tetap berguna. Pengerahan potensi intelektual secara optimal tetap menjadi nilai penting, baik secara umum, maupun secara spesifik pada penalaran legis dan analisis integratif-kontekstual kontemporer.

Sebagai perwujudan aktivitas pembacaan, maka makna hukum Islam dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan institusi-institusi Islam, dan dalam pranata-pranata sosial masyarakat Islam. Inilah konsekuensi dari dimensi kesejarahan hukum agama, praksis pembacaan atas segala teks keagamaan dan mungkin tidak salah kalau akibat-akibat langsungnya menghadirkan suatu peradaban teks (hadharah al-nash) yang secara riil menyentuh kehidupan kemasyarakatan.

Fiqh ini merupakan suatu produk. Khusus dalam bidang hukum, maka para sarjana hukum Islam bersepakat menyebutnya fiqh saja. Fiqh merupakan salah satu khazanah intelektual Islam yang diperkirakan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat Islam. Substansi pengetahuan ini dibangun di atas landasan metodologis Ushul al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqhiyyah, di samping pergulatan intelektual berada di bawah pengaruh sosiokultural fuqaha yang bersangkutan.

Penguasaan terhadap pengetahuan fiqh, paling tidak ditujukan pada hal berikut ini. Pertama, aspek state of the art, yakni penguasaan pengetahuan tentang pembentukan dan keseluruhan perkembangan fiqh secara historis, termasuk yang bersifat kekinian. Kedua, aspek filosofis, suatu analisis yang ditekankan pada nalar ilmiah, sebagai dasar pengetahuan yang termanifestasi dalam artikulasi secara eksplisit sebagai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasari fiqh. Ketiga, pendalaman dan perluasan nalar, yaitu penguasaan mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul disekitar disiplin keilmuan fiqh tersebut.

Bagian pertama meliputi legal exposition, dan legal history dari fiqh. Eksposisi hukum fiqh terdiri: al-ibadah, al-ahwal al-syakhshiyyah, al-mu'amalah al-madaniyyah, al-ahkam al-maliyyah wa al-iqtishadiyyah, al-uqubah, al-murafa'ah, al-ahkam al-dusturiyyah, al-ahkam al-dawliyyah dan lain sebagainya, sejauh mana pembaca memberi konsentrasi yang tematik. Sejarah hukum fiqh atau tepatnya sejarah sosial hukum Islam tidak saja memaparkan secara kronologis mulai terbentuknya dan perkembangannya sampai sekarang, tetapi juga menganalisis pengaruh sosio-kultural fiqh dan kehidupan masyarakat dewasa ini. Dalam kaitanya dengan ini, yang terpenting adalah refleksi kesejarah-sosial bagi pengembangan fiqh dewasa ini dan di masa depan. Bagian kedua mencakup kajian falsafahnya yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi fiqh.

Bagian ketiga, menyangkut kemampuan menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah fiqh, baik berkaitan dengan lampau, sekarang dan yang akan datang.

Jumat, 30 Januari 2009

Menanam Sabar

tatkala mula mengalirkan hati yang sabar,
perlu niat yang berfondasi mental baja

tidak semua bisa melakukannya,
butuh keseimbangan emosi tingkat tinggi

bukan berarti tidak mungkin,
sabar itu banyak sekali

cobalah yang paling ringan,
menahan untuk tidak marah

pastilah wujud tindakan terpuji