Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al-Quran dan atau Sunnah. Kendati demikian, dalam rangka mencari makna dunia dan kehidupan, berlandaskan pada nilai etika universal kitab suci dan refleksi nilai etika keseharian masyarakat yang berkembang dari zaman ke zaman. Tinggal bagaimana mukallaf berhadapan dengan teks-karunia Tuhan itu.
Berhadapan secara langsung dengan teks keagamaan, memungkinkan bahwa sebuah teks hukum dikemukakan secara jelas oleh pembuat hukum (wetgevers). Jelas, hukum tersebut mudah untuk dimengerti.
Kejelasan hukum, tidak memerlukan eksplanasi atau penelitian linguistik yang terlalu jauh terlibat langsung dengan kerumitan filosofis yang mengiringi. Dengan demikian, penggunaan manhaj al-istinbath klasik seperti qiyas, istishlah, istihsan dan sebagainya semenatara tidak terlalu diperlukan.
Secara tidak langsung, jika hukum tersebut tidak disebut dengan jelas, untuk mempermudah memahami makna dan hikmah hukum, pemakaian manhaj kebahasaan klasik, tetap berguna. Pengerahan potensi intelektual secara optimal tetap menjadi nilai penting, baik secara umum, maupun secara spesifik pada penalaran legis dan analisis integratif-kontekstual kontemporer.
Sebagai perwujudan aktivitas pembacaan, maka makna hukum Islam dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan institusi-institusi Islam, dan dalam pranata-pranata sosial masyarakat Islam. Inilah konsekuensi dari dimensi kesejarahan hukum agama, praksis pembacaan atas segala teks keagamaan dan mungkin tidak salah kalau akibat-akibat langsungnya menghadirkan suatu peradaban teks (hadharah al-nash) yang secara riil menyentuh kehidupan kemasyarakatan.
Fiqh ini merupakan suatu produk. Khusus dalam bidang hukum, maka para sarjana hukum Islam bersepakat menyebutnya fiqh saja. Fiqh merupakan salah satu khazanah intelektual Islam yang diperkirakan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat Islam. Substansi pengetahuan ini dibangun di atas landasan metodologis Ushul al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqhiyyah, di samping pergulatan intelektual berada di bawah pengaruh sosiokultural fuqaha yang bersangkutan.
Penguasaan terhadap pengetahuan fiqh, paling tidak ditujukan pada hal berikut ini. Pertama, aspek state of the art, yakni penguasaan pengetahuan tentang pembentukan dan keseluruhan perkembangan fiqh secara historis, termasuk yang bersifat kekinian. Kedua, aspek filosofis, suatu analisis yang ditekankan pada nalar ilmiah, sebagai dasar pengetahuan yang termanifestasi dalam artikulasi secara eksplisit sebagai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasari fiqh. Ketiga, pendalaman dan perluasan nalar, yaitu penguasaan mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul disekitar disiplin keilmuan fiqh tersebut.
Bagian pertama meliputi legal exposition, dan legal history dari fiqh. Eksposisi hukum fiqh terdiri: al-ibadah, al-ahwal al-syakhshiyyah, al-mu'amalah al-madaniyyah, al-ahkam al-maliyyah wa al-iqtishadiyyah, al-uqubah, al-murafa'ah, al-ahkam al-dusturiyyah, al-ahkam al-dawliyyah dan lain sebagainya, sejauh mana pembaca memberi konsentrasi yang tematik. Sejarah hukum fiqh atau tepatnya sejarah sosial hukum Islam tidak saja memaparkan secara kronologis mulai terbentuknya dan perkembangannya sampai sekarang, tetapi juga menganalisis pengaruh sosio-kultural fiqh dan kehidupan masyarakat dewasa ini. Dalam kaitanya dengan ini, yang terpenting adalah refleksi kesejarah-sosial bagi pengembangan fiqh dewasa ini dan di masa depan. Bagian kedua mencakup kajian falsafahnya yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi fiqh.
Bagian ketiga, menyangkut kemampuan menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah fiqh, baik berkaitan dengan lampau, sekarang dan yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar