Selasa, 05 April 2011

Keberadaan Hadits di Tengah Peran Ganda Nabi Muhammad Sebagai Nabi dan Rasul, Kepala Negara, Hakim, dan Manusia Biasa

Pendahuluan

Hadist atau sunnah Nabi memempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur'an. Karena sangat pentingnya hadist dalam kehidupan ini, maka urgensi dalam mempelajari Hadits juga sangat penting bagi umat Islam.[1] Oleh sebab itu, argumentasi pentingnya Hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur'an adalah sebagaimana Firman Allah Surat an-Nisa':[2]


Artinya:

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka."

Kemudian firman Allah SWT dalam Surat al-Hasyr:[3]!


Artinya:

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah".

Jadi, mentaati Allah berarti kita juga mentaati Rasul-Nya, oleh sebab itu segala macam hadits yang sudah teruji kesohihannya maka wajib hukumnya bagi kita untuk mengikuti dan mengamalkannya sebab hadits merupakan hasil penjelasan dari al-Qur'an itu sendiri.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya yaitu:

Artinya: "Telah kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), tidak sekali-kali kamu tersesat selamanya, selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya yaitu al-Qur'an dan Sunnahku". (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah).

Oleh sebab itu, berpegang teguh kepada Hadits secara jelas dan hati-hati merupakan keharusan bagi umat Islam. Selain itu, kita harus memahami hadits dan memperhatikan tingkat kebenaran hadits tersebut sehingga kita dapat menjadikannya sebagai hujjah. Begitu juga, menentukan status hadits (shahih, dhaif, hasan dan lain-lain) dan memilih mana hadits yang layak digunakan sebagai sandaran.

Pertanyaan yang cukup mendasar dalam studi ilmu hadits adalah; apakah semua yang dikatakan atau dilakukan Nabi itu adalah hadits atau bukan? Bagaimana juga ungkapan atau perbuatan Nabi dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai posisi yang disandangnya?

Makalah ini berusaha untuk menjelaskan berbagai aspek tentang hadist yang berkaitan dengan posisi Muhammad sebagai Nabi atau Rasul, kepala negara, hakim dan manusia biasa. Agar kita dapat menentukan mana hadist yang masuk kategori tasyri’ dan mana yang bukan termasuk kategori tasyri’. ((سنة التشريع و سنة غيرالتشريع

Pengertian Hadits

Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.[4] Kata jamaknya, ialah al-ahadis. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada juga yang mendefinisikan hadits, adalah : "Sesuatu yang dinisbatkan kepada nabi berupa perkataan, perbuatan, dan hal ihwalnya (taqrir)".[5]

Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan : "Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".[6]

Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".

Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut taqrir.[7]

Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya. Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut : "Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".

Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu: "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in.[8]

Pengertian as-Sunnah

Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek"[9]. Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.

Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya.[10] Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.

Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut : "Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW. tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.[11]

Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab:[12] sebagai berikut : "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".

Multiperan Muhammad

Sebagai manusia pilihan, Muhammad menjadi sosok atau pribadi yang komplit. Sebagai rasul, Muhammad menjadi uswah atau teladan bagi umatnya dalam segala hal. Muhammad juga berperan sebagai hakim (pemutus masalah) dalam berbagai masalah hokum yang terjadi pada waktu itu. Disamping itu pula, Muhammad juga menjadi kepala Negara (di Madinah) yang menjadi cermin dan cikal bakal tumbuhnya sistem masyarakat yang baik, adil dan multikulturalis.

Dengan banyaknya peran yang dilakukan Muhammad, muncul sebuah pertanyaan di kalangan umat Islam: apakah Muhammad juga berperan sebagai manusia biasa dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau memang demikian, bagaimana memposisikan hadist atau sunnah yang dilakukan oleh Muhammad setiap hari. Apakah umat Islam harus mengikuti semua perbuatan-perbuatan kemanusiaanya pula?

Pribadi Muhammad sebagai pengemban risalah kenabian dan kerasulan memiliki berbagai dimensi yang merupakan perpaduan antara sisi kemanusiaan dan sisi ketuhanan.[13] Makalah ini membahas masalah peran Nabi Muhammad saw, dan kedudukan hadistnya. Penulis berusaha menelusuri berbagai peran yang menunjuk pada pribadi Nabi Muhammad saw. maupun pada misi yang diembannya berdasarkan beberapa kata kunci. Dengan menelusuri peran-peran kunci ini, penulis ingin megurai sekilas tentang posisi atau kedudukan Hadist dan peran ganda Muhammad.

Muhammad Sebagai Rasul dan Nabi

Dalam al-Quran, penyebutan Muhammad hanya ditemukan dalam empat ayat saja, yaitu Q.S. Ali Imran (3): 144, al-Ahzab (33): 40, Muhammad (47): 2, dan al-Fath (48): 29. Kesemua ayat tersebut selalu dikaitkan secara langsung dengan sebutan Rasul, kecuali Q.S. Muhammad (47): 2, yang harus selalu ditaati. Akan tetapi, secara tidak langsung Q.S. Muhammad (47): 2 tersebut juga mengisyaratkan keharusan percaya (iman) terhadap risalah yang disampaikan oleh Muhammad, karena risalah tersebut merupakan kebenaran dari Allah.[14]

Jadi penyebutan Muhammad dalam al-Quran selalu dikaitkan dengan fungsinya sebagai seorang utusan (Rasul) Allah yang harus ditaati. Di samping itu, kata Muhammad juga diangkat sebagai salah satu nama surat dalam al-Quran. Secara umum isi dari surat Muhammad ini adalah seruan untuk selalu percaya (iman) terhadap risalah Muhammad sebagai sebuah kebenaran dari Allah (ayat 2). Di samping itu, surat ini membuat landasan kategorisasi manusia menjadi dua kelompok, yaitu orang-orang kafir yang mengikuti kebathilan dan orang-orang mukmin yang mengikuti kebenaran.

Kata rasul (termasuk dalam bentuk pluralnya) dalam al-Quran disebut sebanyak 342 kali. Berdasarkan temuan Abdullah Yusuf Ali, pengertian harfiah kata rasul dalam seluruh ayat al-Quran adalah orang yang diutus. Oleh karena itu, penggunaan kata rasul dalam al-Quran dapat dalam pengertian malaikat (seperti Q.S. al-Haqqah (69): 40, al-Takwir (81): 19, Hud (11): 69, 77, 81, al-Ankabut (29): 31-33, al-Mualat (77): 1, dan al-Zukhruf (43): 80), juga dapat dalam pengertian nabi (seperti Q.S. Ali Imran (3):144, al-Maidah (5): 68, al-Anam (6): 48, dan al-Kahfi (18) 56), dan juga dapat pula dalam pengertian manusia (seperti Q.S. al-Muminun (23): 51.

Meskipun penggunaan kata rasul juga berarti seorang nabi, namun secara substansial, pengertian kedua istilah tersebut tetap berbeda. Paling tidak, ada dua spesifikasi khusus yang dilekatkan ulama pada pengertian rasul, yaitu pertama: bahwa rasul adalah seorang yang mempunyai Kitab Suci. Kedua adalah terkait dengan ketaatan, di mana kewajian ketaaan yang tepat dalam al-Quran selalu terkait dengan rasul, bukan nabi.

Dengan demikian, dapat ditegaskan di sini bahwa penyebutan Muhammad sebagai rasul adalah mengacu pada dua sepesifikasi di atas. Muhammad adalah seorang yang diutus Allah untuk menyampaikan sebuah risalah (Kitab Suci al-Quran) sebagai undang-undang (syariat) bagi umat Muhammad, dan seorang utusan Allah yang harus ditaati seruan-seruannya (baik yang terdapat dalam al-Quran maupun selain al-Quran, al-sunnah).

Begitu juga Muhammad sebagai Nabi. Kata nabi (tanpa hamzah) dalam al-Quran disinggung sebanyak 80 kali, di mana akar katanya berasal dari (n dan b dan a) yang berarti pembawa berita. Bila dilihat bentuknya, kata ini merupakan bentuk ism fail yang menyalahi aturan (anomaly), di mana bentuk yang semestinya adalah nabi (dengan hamzah). Penyimpangan ini adalah sebuah kesengajaan yang dimaksudkan untuk menempatkan pembawa berita yang agung (berasal dari Allah) pada derajat yang lebih tinggi daripada pembawa berita selainnya. Berdasarkan pengamatan penulis, penggunaan kata nabi dalam ayat-ayat al-Quran mempunyai karakteristik khusus, di mana konteks pembicaraan dan sasarannya (mukhatab) lebih ditekankan kepada kelompok outsider (orang yang berada di luar pengikut nabi). Outsider yang dimaksudkan di sini adalah musuh-musuh para nabi.

Muhammad Sebagai Kepala Negara

Nabi mengatur urusan perekokomian masyarakat Madinah dengan sistem zakat, infaq maupun shadaqah yang didistribusikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan syari’at (At Taubah: 60, 103, al Hajj: 41). Ketika Nabi tiba di Madinah, pasar Madinah ketika itu dimonopoli oleh sistem kapitalisnya Yahudi, dimana arus keluar msauk pasar dikendalikan secara strategis oleh mereka. Rasulullah kemudian membangun pasar muslim melalui tangan Abdurrahman bin ‘Auf ra. Sahabat saudagar kaya yang menjadi salah satu pilar ekonomi kaum muslimin. Rasulullah juga melakukan pengawasan (hisbah) pada pasar dengan menunjjuk penanggung jawab urusan tersebut kepada sahabat Said bin Said Ibnul ‘Ash ra.

Demikian halnya, Nabi juga menerapkan harta ghanimah (rampasan perang) sebagai kekuatan pendukung perekonomian pemerintahan dan perekomoinan masyarakat, demikian halnya dengan jizyah (upeti dari wilayah-wilayah yang mengikat perlindungan dengan pemerintahan Nabi). Secara keseluruhan harta-harta tersebut diklasifikasikan dalam Baitul Mal secara terpisah. Seperti yang disebutkan oleh Sa’id Hawa dalam bukunya Al Islâm bahwa pemerintahan Islam memiliki pusat keuangan Negara yang disimpan di Baitul Mal. Baitul Mal dibagi ke dalam tiga klasifikasi;

a. Baitul Mal Khusus menyimpan harta zakat

b. Baitul Mal khusus sebagai hasil dari pemungutan jizyah dan kharaj

c. Baitul Mal yang khusus menyimpan harta ghanîmah dan rikaz

d. Baitul Mal yang khusus menyimpan barang-barang yang tidak diketahui kepemilikannya

Satu hal yang belum pernah terjadi pada peradaban-peradaban lainnya adalah, Rasulullah mengubah sistem perekonomian di kala itu yang sarat praktek ribawi dengan segala bentuknya kemudian dihilangkan dan dihapuskan dengan sistem yang Ilahi (Islam). Perdagangan dan jual beli tidak lagi monopoli si kaya atas si miskin. Pinjam meminjam, musyarakah atau mudharabah juga ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang adil lagi penuh maslahat serta menghilangkan kemudharatan-kemudharatan. Penghapusan sistem pajak sebagaimana terjadi di Negara-negara besar ketika itu (Romawi dan Persia) dengan sistem zakat, dan lain-lain.

Nabi bertindak memimpin sejumlah peperangan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini seluruh peperangan diatur dan dimenejeri oleh Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi. Namun demikian sebagiamana yang terjadi dalam beberapa peperangan seperti Badr, Khandak, dan lain-lain masukan-masukan dari para sahabat juga diperhitungkan secara masak. Al Bukhari menyebutkan dari sejumlah periwayatan seperti dari Zaid bin Arqam ra, Al Barra ra bahwa Nabi bertempur secara langsung sebanyak 19 kali. Pertempuran-pertempuran tersebut secara mayoritas dimenangkan oleh Nabi. Ini menunjjukan betapa besarnya peran Nabi dalam mengatur, menempatkan, dan melakukan strategi peperangan secara brilian.

Muhammad Sebagai Manusia Biasa

Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an itu sendiri, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Tetapi juga Muhammad tetaplah manusia biasa sebagaimana manusia lainnya. Menurut Abdul Jalil 'Isa Abu an-Nashr, bahwa Muhammad itu ma'sum ketika menyampaikan risalah kenabian atau wahyu. Tetapi Muhammad juga bisa melakukan kesalahan sebagaimana manusia biasa ketika dia berada pada posisi kemanusiaanya.[15]

Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah bukan pada insaniyah." Perhatikan bunyi firman tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.[16]

Cerita mengenai perkawinan kurma juga bisa menjadi salah satu gambaran bagaimana Muhammad menjadi manusia biasa pada umumnya. Diceritakan bahwa Nabi saw. tiba di Madinah. Dia melihat orang-orang sedang mengawinkan kurma. Nabi saw melarangnya. Penduduk Madinah mengikuti larangan Nabi itu, sehingga pohon-pohon kurma itu tidak berbuah. Mereka datang lagi kepada Nabi. Nabi saw berkata : "Kamu lebih tahu tentang urusan dunia kamu (Antum a'lamu bi umuri dunyakum).

Kasus ini menunjukkan bahwa pada saat tertentu Nabi Muhammad juga berposisi sebagaimana manusia biasa. Pendapat nabi yang berkenaan dengan hal-hal urusan duniawiyah seperti pengawinan pohon kurma.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pendapat nabi (hadist atau sunnah) tidak serta merta menjadi hukum yang harus diikuti. Tetapi kita harus memilah dan memili apakah pendapat itu berupa hadist atau sunnah yang harus diikuti atau bukan. Menurut Khalid Abdul karim, bahwa terkadang Muhammad itu berposisi sebagai nabi atau rasul ketikan berkenaan dengan masalah-masalah nubuwah atau risalah. Tetapi Muhammad juga berposisi sebagai pemimpin Negara yang mengatur administrasi (aturan tata Negara) sebagaimana diterapkan di Madinah.[17] Dan juga berperan sebagai manusia biasa sebagaimana Muhammad menunjukkan pada kasus tanaman pohon kurma.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:

  1. Ketika Muhammad berposisi sebagai Nabi dan Rasul dan menetapkan masalah-masalah nubuwqah dan risalah, maka kita harus mengikuti semua perkataan dan perbuatannya.
  2. Saat Muhammad berposisi sebagai hakim dan menetapkan atau memutuskan hal-hal yang kerkenaan dengan masalah agama, maka kita harus mengambilnya.
  3. Ketika Muhammad sebagai kepala negara dan ia melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan administrasi kenegaraan, kita dapat mengambil atau berijtihad lain sesuai dengan kebutuhan zaman kita.
  4. Dan ketika Muhammad sebagai manusia biasa (kehidupan sehari-hari), maka kita ada kebebasan untuk mengikuti maupun meninggalkan.

Wallahu a’lam bi showab



[1] Baca Nurudin ‘Itr, Minhaj Naqd fi Ulumul Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), hal. 21-22.

[2] QS. An-Nisa' (4):80

[3] QS. Al-Hasyr (59): 7

[4] Bandingkan juga dengan penjelasan Muhammad al-Zafzafy, al-Ta’rif bi al-Qur’an wa al-Hadits, (Beirut: Maktabah Ilmiyah, tth), hal. 194.

[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadis (Bandung: al-Ma'arif, 1991), hal 6.

[6] Lihat Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis (Semarang: Rasail, 2007) hal. 2.

[7] Diantara yang tidak memasukkan taqrir dalam pendefinisian hadis adalah Ibn al-Subkiy. Menurutnya, kata taqrir sudah masuk dalam kata "af'al". lebih lanjut lihat, M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad hadist: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Bandung: Bulan Bintang, 1995), hal. 26.

[8] Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Minhaj Hadits fi Mushthalah al-Hadits, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 2004), hal. 7.

[9] Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), hal. 6.

[10] Dikutip dari M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 19.

[11] Bandingkan dengan Latief Muchtar, "Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam: Tinjauan Ontologis dan Epistemologis" dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas'udi (ed), Pengembangan Pemikiran Hadis (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hal. 107-109.

[12] Q.S al-Ahzab (33): 21.

[13] Bandingkan dengan pendapat Imam al-Qarafi yang dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Studi Kritis Atas Hadis Nabi Muhammad SAW. Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (terj) Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1998) cet. VI, hal. 9.

[14] Q.S al-Ahzab (33): 21.

[15] Lebih lanjut untuk pembahasan ini, baca Abdul Jalil 'Isa Abu An-Nashr, Ijtihad Rasulullah SAW (terj). Wawan Djunaedi Soffandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), hal. 30-32.

[16] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), hal. 54.

[17] Lebih lanjut baca penjelasan Khalil Abdul KArim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab (terj). Kamran As'ad Irsyady (Yogyakarta: LKIS, 2005)

Tidak ada komentar: