Pendahuluan
Peradaban modern yang dipelopori Barat saat ini telah mencapai puncaknya yang gemilang dalam berbagai bidang kehidupan lebih-lebih dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Di tengah arus baru globalisasi yang melintasi sekat-sekat negara-bangsa dan membuka ruang hidup baru yang luar biasa mencair sekaligus bersifat ekspansi ke seluruh penjuru kehidupan hingga pelosok pedesaan terjauh, kebudayaan manusia modern abad ini telah melintas batas ke hal-hal yang tak terduga sehingga merupakan revolusi kehidupan yang paling spektakuler. Bagaimana pengembangan teknologi robot, cloning, dan berbagai invasi teknologi lainnya yang luar biasa hadir dan mengintervensi pandangan hidup manusia yang selama ini mapan termasuk agama[1].
Semua agama, sebagaimana juga ideologi, hadir menawarkan janji janji pada manusia untuk membangun kehidupan yang beradab dan sejahtera. Konskuensinya semua agama harus siap diuji oleh mahkamah sejarah dan jika ternyata gagal memenuhi janji-janjinya maka agama pasti akan ditinggalkan oleh calon pemeluknya dan seterusnya akan memperpanjang halaman lembaran buku sejarah. Selain menawarkan janji, agama juga bagaikan kacamata, yang dengannya seorang yang beriman memandang dunia sekitarnya dan bagaimana menafsirkan serta mengkonstruksi realitas dunia.[2] Oleh karenanya, sekalipun secara fisik tidak kelihatan, keyakinan dan faham agama sangat berpengaruh terhadap seseorang atau masyarakat tertentu ketika merespon kehidupan.
Ketika menjelaskan mengenai visi dan komitmen Islam dalam agama dan peradaban,[3] Marshall G.S. Hodgson mengutip al-Qur’an surat Al Imran.[4]
Artinya :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…. “
Statemen suci ini merupakan visi umat Islam untuk tampil menjadi umat terbaik, karena komitmennya untuk selalu menegakkan kebaikan dan melarang kejahatan, seraya beriman kepada Allah. Statemen tersebut sekaligus juga merupakan janji sejarah yang harus diwujudkan oleh umat islam sehingga keunggulan Islam harus dilihat dari komitmennya untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan dan memberantas semua bentuk kejahatan.
Konsep dan perwujudan “umat terbaik” ini dalam sejarahnya telah memperoleh penafsiran yang berbeda-beda, meski demikian visi dan keyakinan Islam masih tetap memiliki kekuatan dan harapan ketika memasuki dunia modern. Tetapi pertanyaannya, ketika ummat Islam memasuki pergaulan masyarakat mondial yang demikian plural dan global, cetak biru sosial yang ditawarkan belum memiliki kejelasan. “Mampukah suatu masyarakat dunia betul-betul dibangun secara efektif atas dasar kesetiaan pada pandangan ketuhanan?,” [5]tulis Hodgson. Atau dengan istilah lain mampukah Islam sebagai agama menjadi lokomotif kemajuan peradaban, yang kemudian membawa ummat Islam menjadi masyarakat terdepan dalam percaturan hidup di era modern.
Masihkah kita seperti kata Iqbal se abad yang lalu, ummat Islam itu seperti burung kecil, burung alif yang hanya menari-nari dari bunga ke bunga, sementara itu klaim kita begitu besar ; rahmatan lil ‘alamin, syuhada’a ‘alan-naas, ummatan was than dan lain-lain. Atau bahkan sebaliknya seperti ungkapan retorik Fahmi Huwaidi dalam judul bukunya “ Haruskah Menderita Karena Agama?”.[6]
Bagaimana dengan Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang cukup berperan dalam mewarnai corak Islam modernis di Indonesia. Bagaimana konsep pemahaman keagamaan (paham Islam) Muhammadiyah di tengah arus budaya dan peradaban modern yang global.
Makalah ini mencoba memaparkan epistemologi pemahaman agama Islam Muhammadiyah pada akhir abad 20 menjelang awal abad 21, ketika Muhammadiyah harus berhadapan dengan berbagai kecenderungan pemikiran di kalangan ummat Islam, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Epistemologi Pemahaman Agama Islam
Apa sebenarnya epistemologi itu? Secara leteral epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahauan (teori pengetahuan), yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin dipikirkan.[7] Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini: pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Manakah pengetahuan yang benar itu, dan bagaimana kita mengetahuinya?; kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenia/appearance) versus hakikat (noumena/essence); ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verifikasi.
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) Islam sebagai wilayah diskursus filsafat mencakup dua pendekatan genetivus subyectivus (menempatkan Islam sebagai subyek) bagi titik tolak berpikir (starting point) dan genetivus obyectivus (menempatkan filsafat pengetahuan sebagai subyek yang membicarakan Islam sebagai obyek kajian). Epistemologi Islam menelaah bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, serta bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi yang telah terbukti keabsahannya. [8]
MUHAMMADIYAH DI TENGAH ARUS PERUBAHAN GLOBAL
Muhammadiyah (waktu berdiri ditulis moehammadijah) adalah nama gerakan Islam yang lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Pada waktu berdiri dan mengajukan pengesahan kepada pemerintah Hindia Belanda memakai tanggal dan tahun Miladiyah atau Masehi. Adapun pertepatan waktu dengan penanggalan Hijriyah ialah tanggal 8 Dzul Hijjah 1330. Pendiri Muhammadiyah adalah seorang kyai yang dikenal alim, cerdas, dan berjiwa pembaharu, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang sebelumnya atau nama kecilnya Muhammad Darwisy. [9]
Muhammadiyah setelah tumbuh dan berkembang hingga usia satu abad menjadi organisasi Islam yang terbesar baik di Indonesia maupun di dunia Islam. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M. Din Syamsuddin di berbagai forum menyampaikan kesaksian ketika berkunjung ke Amerika Serikat, bahwa media di negeri Paman Sam itu menyebut Muhammadiyah sebagai The Largest Reformist Islamic Organization, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nur Cholis Madjid dengan memakai sudut pandang karya amal usaha Muhammadiyah yang berhasil menyatakan bahwa gerakan Islam yang didirikan Kyai Ahmad Dahlan tersebut sebagai organisasi Islam modern terbesar bukan hanya di Indonesia bahkan di dunia Muslim.[10]
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar tidak lepas dari permasalahan dan tantangan, kalau dalam perkembangan awal sampai abad 20 berhadapan dengan persoalan khilafiah dan pemurnian akidah, maka pada akhir abad 20 menjelang awal abad 21, organisasi ini sudah berhadapan dengan berbagai kecenderungan pemikiran di kalangan ummat Islam, baik dalam skala nasional maupun internasional. Seacara garis besar, kecenderungan untuk memahami ajaran dasar islam dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, pertama salafi dan kedua kelompok ‘ashrani. Kelompok pertama biasa disebut sebagian pengamat sebagai kelompok fundamentalis, sedangkan yang kedua disamakan dengan kelompok Islam Liberalis. Kemudian berdasar pembagian itu, para ahli dan pengamat keislaman mengklasifikasian aliran pemikiran di kalangan umat Islam menjadi tiga kelompok, yakni fundamentalis, liberalis dan moderat.[11]
MANHAJ PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM MUHAMMADIYAH
A. Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam
Pemikiran keislaman dibangun dan dikembangkan beradasarkan anggapan dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar penting bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakikat pandangan keagamaan – posisi Islam dan pemikiran Islam, sumber, fungsi dan metodologi pemikiran Islam – sangat signifikan untuk menentukan cara kerja epistemologi pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan.
Posisi Islam dan Pemikiran Islam.
Membedakan antara Islam dan Pemikiran Islam sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran Islam tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah (al-nushush al-mutanahiyah) melalui tindakan pengubahan baik penambahan dan pengurangan atau bahkan penghapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam (obyektif) sebagai wahyu adalah petunjuk universal bagi umat manusia. Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah ini, Allah secara jelas menyatakan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur, untuk Muslim atau bukan (freedom of religion; QS. al-Baqarah: 256; al-Kafirun: 1-6).
Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan dalam realitas keseharian umat Muslim yang “lekang dan lapuk oleh ruang dan waktu” (al-waqa‘i’ ghairu mutanahiyah). Dengan meletakkan Islam dalam al-tajdid wa al-ibtikar, setiap Muslim tidak perlu lagi khawatir bahwa pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak memiliki pretensi untuk mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun keimanan secara langsung ataupun tidak. At-tajdid wa al-ibtikar merupakan program pembaharuan terencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi normativitas dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam konteks sosial-kemasyarakatan dalam arti luas.
Dengan program ini pula dimaksudkan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin; sebuah proses menafsirkan universalitas Islam melalui kemampuan membumikannya pada wilayah-wilayah partikularitas dengan segala keunikannya. Ini berarti pula bahwa pemikiran Islam menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat Muslim (insider) maupun non-Muslim (outsider)
Sumber Pemikiran Islam.
Setiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Islam sebagai ad-din memiliki dua sumber tak tergugat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara itu, pemikiran Islam memiliki tiga sumber pengetahuan; teks, ilham atau intuisi dan realitas. Yang dimaksudkan teks di sini adalah meliputi teks-teks keagamaan baik al-Qur’an dan as-Sunnah maupun teks-teks hasil interpretasi dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah penemuan rahasia pengetahuan melalui iktisyaf. Dan yang terakhir adalah realitas yang mencakup realitas kealaman dan realitas kemanusiaan.
Fungsi Pemikiran Islam.
Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju :
1. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, dalam hal ini pemikiran Islam berupaya memberikan kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan (religious practical guidance), ibadah mahdah dan masalah-masalah yang menyangkut moralitas pribadi (private morality).
2. Kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas publik (public morality), dalam hal ini pemikiran Islam merespon wacana kontemporer, seperti masalah sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, globalisasi dan lokalisasi, iptek, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan hukum, ekonomi, demokratisasi, HAM, civil society, kekerasan sosial dan agama, gender, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan melaksanakan terapannya dalam praksis sosial.
Metodologi Pemikiran Islam.
Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbari dan kebenaran nazhari. Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta‘aqquli. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada rentang waktu – dulu, kini, mendatang -- di hadapan ketiga pihak di atas. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (an-nushush al-mutanahiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam konteks yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama (turats) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadatsah). Kewajiban Muslim adalah melakukan pembacaan atas teks-teks wahyu dan realitas itu secara produktif (al-Qira’ah al-Muntijah, bukan al-Qira’ah al-Mutakarrirah). Dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan perkembangan, kontinuitas dan perubahan (ats-tsabat wa at-taghayyur) dalam realitas kontemporer, perlu diupayakan perubahan paradigma. Perubahan paradigma tidak berarti bahwa semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut dipahami sebagai upaya modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu sesuai dengan problem sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi dengan sesuatu yang sama sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga kontinuitas dalam pemikiran keislaman atau melakukan pengembangan, sementara yang kedua adalah untuk memproduksi pemikiran keislaman yang sama sekali baru. Perubahan paradigma mengandaikan metodologi – pendekatan dan metode – baru untuk merespon problem-problem di atas sekaligus aplikasinya dalam praksis sosial. Dengan demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muhafazhatu ‘ala al-qadim ash-shalih ma‘a al-akhdz bi al-jadid al-ashlah. Dengan rekayasa epistemologis semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana keislaman dalam Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain: produktif atau bukan sekedar pengulangan tradisi lama untuk memecahkan masalah baru; fleksibel dalam arti pemikiran keislaman termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas kritik dan pengembangan; imaginatif dalam arti membuka horizon pemahaman dan pendalaman baru melalui iktisyaf; kreatif dalam melahirkan wilayah-wilayah baru (yang selama ini “tak terpikirkan” dan “belum terpikirkan”) untuk dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer benar-benar berada dalam pergumulan sejarah yang efektif (effective history) dan tidak ahistoris.
B. Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam
Manhaj pengembangan pemikiran Islam ini dikembangkan atas dasar
prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu:
1. Prinsip al-muru‘ah (konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian (purification) ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah mahdhah.
2. Prinsip at-tahditsi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Penyempurnaan ini dilakukan dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam.
3. Prinsip al-ibda‘i (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan cara menerima nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptatif). Atau dengan penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif).
C. Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam
Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayani, ‘irfani dan burhani, sesuai dengan obyek kajiannya – apakah teks, ilham atau realitas -- berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek transhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
1. Pendekatan Bayani
Pendekatan Bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha’, mutakallimun dan ushuliyyun. Bayani adalah pendekatan untuk:
a. memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zhahir dari lafzh dan ‘ibarah yang zhahir pula.
b. istinbath hukum-hukum dari an-nushush ad-diniyyah dan al-Qur’an khususnya.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan: 1) Bayan al-I‘tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi: a) alqiyas al-bayani baik al-fiqhy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tashdiq; 2) Bayan al-I‘tiqad, yaitu penjelasan mengenai makna segala sesuatu yang meliputi makna haqq, makna mutasyabih fih, dan makna bathil; 3) Bayan al-‘Ibarah yang terdiri dari: a) al-bayan al-zhahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-bathin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan 4) Bayan al-Kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafzh, katib ‘aqd, katib hukm, dan katib tadbir. Dalam pendekatan Bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi.
2. Pendekatan Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bahtsiyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima‘iyyah) dan realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz‘iy, jauhar-aradl, ma‘qulat-alfazh sebagai kata kunci untuk analisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ‘ilm al-lisan dan ‘ilm al manthiq. Yang pertama membicarakan lafzh-lafzh, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafzh al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafzh tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya. ‘Ilm al-manthiq juga merupakan alat (manahij al-adillah) yang menyampaikan kita pada pengetahuan tentang maujud baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi al-adzhan (rasionalisme) atau maujud fi al-a‘yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; manthiq mafhum (mabhats al tashawwur), manthiq al-hukm (mabhats al-qadhaya), dan manthiq al-istidlal (mabhats al-qiyas). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazhariyyah al-hukm dan nazhariyyah al-istidlal.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan al-falsafat al-tsaniyyah. Falsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan: wujud al-‘aradly, wujud al-jawahir (jawahir ula atau asykhash dan jawahir tsaniyah atau al-naw‘), maddah dan shurah, dan asbab yang terjadi pada a) maddah, shurah, fa‘il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada alam semesta) dan hazhzh (sebab-sebab yang berlaku pada manusia). Sedangkan falsafat al-tsaniyah atau disebut juga ‘ilm al-thabi‘ah, mengkaji masalah: 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (as-sunnah al-‘alamiyyah) maupun manusia (as-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakah haditsah) yang bersifat plural (mutanawwi’ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social sciences, al-‘ulum al-ijtima‘iyyah) dan humaniora (humanities, al-‘ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi, pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi, antropologi, budaya dan sejarah.
3. Pendekatan ‘Irfani
‘Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain; ‘ilm atau ma‘rifah; metode ilham dan kasyf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghunus atau gnosis. Ketika ‘irfan diadopsi kedalam Islam, para ahl al-‘irfan mempermudahnya menjadi: pembicaraan mengenai 1) al-naql dan al-tawzhif; dan 2) upaya menyingkap wacana qur’ani dan memperluas ‘ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan ‘irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutashawwifin dan ‘arifin untuk mengeluarkan makna bathin dari bathin lafzh dan ‘ibarah; ia juga merupakan istinbath al-ma’arif al-qalbiyyah dari al-Qur’an. Pendekatan ‘irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kasyfi dan manhaj iktisyafi. Pendekatan ‘irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irfaniyyin tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik syari‘ah, dan yang bathin (al-dalalah al-isyarah aw al-ramziyyah) di balik yang zhahir (al-dalalah al-lughawiyyah).
Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam ‘irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wil). Pendekatan ‘irfani banyak dimanfaatkan dalam ta’wil. Ta’wil ‘irfani terhadap al-Qur’an bukan merupakan istinbath, bukan ilham, bukan pula kasyf. Tetapi ia merupakan upaya mendekati lafzh-lafzh al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya. Contoh konkret dari pendekatan ‘irfani lainnya adalah Falsafah Ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bahtsiyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dzawqiyyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Quran merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irfani. Namun, dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, mungkin pengetahuan ‘irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba‘ al-rasul. Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfani bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Implikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk didalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fithrah ilahiyyah.
Operasionalisasi
Apabila peta wilayah pengembangan pemikiran keislaman kontemporer seperti di atas, lalu bagaimana bentuk sesungguhnya hubungan antara ketiga pendekatan, yaitu antara Bayani, Burhani dan Irfani ? Setelah diperoleh pemahaman kerangka metodologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalah nilai strategisnya adalah penentuan bentuk hubungan antara ketiganya. Ketepatan dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu paralel, linear, dan spiral.
Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik itu masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, lantaran finalitas -- untuk kasus-kasus tertentu -- hanya mengantarkan seseorang dan kelompok Muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama Muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
1. Di dalam memproduksi pemikiran keislaman Muhammadiyah berpijak dengan adagium al-muhafazhatu ‘ala al-qadim ash-shalih ma‘a al-akhdz bi al-jadid al-ashlah. Al muru’ah, at tahdits dan al ibda’i (konservasi, inovasi dan kreasi).
2. Epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah berkaitan dengan pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayani, ‘irfani dan burhani.
3. Corak hubungan ketiga pendekatan tersebut bersifat spiral triadik, bukan parallel dan linear.
4. Dalam memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi, antropologi, budaya dan sejarah.
Kehati-hatian dalam merekonstruk sangat dibutuhkan untuk menghindari sikap terlalu mendewakan hasil pemikiran seseorang. Firman Allah SWT[1] Haedar Nashir,Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2010), hal 414.
[2] Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi (Jakarta:Paramadina, 2003), hal 6.
[3] Lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam (Jakarta:Paramadina, 2002), hal 99.
[4] QS Ali Imran (3), 110
[6] Lihat Fahmi huwaidi, Haruskah menderita Karena Agama, (Jakarta, Sahara, 2005), halaman cover
[7] Qomar, Mujamil,. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005). 43
[8] http://ichsanmufti.wordpress.com/2006/11/20/islamic-epistemology/
[9] Haedar Nashir, hal. 15
[10] Nur Cholis Madjid, dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, editor, Cendekiawan dan Politik,(Jakarta, LP3ES, 1990) hal 331
[11] Fatchurrahman Djamil, dalam Mifewil Jandra dan M. Safar Nasir, editor, Tajdid Muhammadiyah untuk Penderahan Peradaban, (yogayakarta, UAD Press, 2005) hal 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar