MASHLAHAH SEBAGAI ELAN VITAL FIQH
Dari apa yang telah dilakukan para ahli ushul ketika mereka mengkaji mashlahah tampak adanya kehati-hatian yang luar biasa untuk tidak jatuh pada sikap pengabaian terhadap syara’. Bahkan demikian ini juga tampak pada sikap thufi yang memegangi metode takhshish dan bayan, tidak ta’thil dan iftiat ketika mendahulukan mashlahah daripada nash. Demikian pula kehati-hatian tersebut juga tampak, ketika ia membatasi aplikasi teori mashlahah hanya pada bidang mu’amalah dan adat saja, tidak pada bidang ibadah. Bahkan telah yang dilakukan Hasan Hamid sampai pada kesimpulan bahwa nash yang diakui adanya kemungkinan berlawanan dengan mashlahah –yang kemudian diutamakan mashlahah daripada nash-tersebut adalah nash yang dhanniy. Adapun nash yang dari segala aspeknya adalah qath’iy, Thufi menolak terjadinya pertentangan dengan mashlahah, lebih-lebih lagi untuk mendahulukan mashlahah atas nash tersebut. Tentu saja kehati-hatian tersebut tampak lebih nyata lagi pada ahli-ahli ushul yang lain yang tidak seekstrem Thufi.
Berkenaan dengan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam konteks kemoderenan dewasa ini, apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman patut memperoleh perhatian. Metode penafsiran Qur’an yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dipergunakan berikut ini untuk mempersiapkan modifikasi di atas dengan beberapa penyesuaian. Pertama: Diperlukan pemahaman yang komprehenship historis terhadap nash-nash yang aplikasinya akan dimodifikasi untuk dapat melahirkan kemashlahatan dalam kontek kemoderenan. Kedua: Diperlukan upaya memilah-milah antara moral edeal nash dan legal spesifikasinya. Ketiga: Memahami perubahan-perubahan sosial serta berbagai tuntutannya dalam kaitanya dengan kemoderenan. Keempat:Memagangi moral edeal nash tersebut, kemudian merumuskan legal spesifik baru dalam upaya melakukan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam kontek kemoderenan dewasa ini.
Jika dibangun di atas prinsip seperti ini, fiqh akan mampu menghadirkan paradigma yang akomodatif terhadap perubahan-perubahan, dengan kata lain akan akan terwujud fiqh transformatif. Ini tidak berarti bahwa fiqh harus selalu transformatif, ada pula fiqh formatif, yaitu fiqh yang tidak akomodatif terhadap perubahan-perubahan. Fiqh jenis ini berkaitan dengan bidang ibadat pada umumnya. Fiqh formatif diperlukan untuk tetap terpeliharanya kemurnian hukum Islam, sedangkan fiqh transformatif diperlukan agar hukum tersebut tetap dapat eksis kapan dan di mana saja yakni tetap shalih li kull zaman wa makan.
ANTARA FIQH FORMATIF DAN FIQH TRANSFORMATIF
Ketika fiqh yang semestinya formatif dipandang transformatif, yang terjadi kemudian ialah masuknya ajaran-ajaran imitasi ke dalam Islam , atau tereduksinya ajaran-ajaran tersebut, Sehingga lenyap kemurniannya. Sedang jika fiqh yang seharusnya transformatif diperlakukan sebagai fiqh formatif, terjadilah fosilisasi dan oleh karena itu fiqh menjadi stagnant. Fiqh haruslah tetap dikembangkan, baik yang transformatif maupun yang fprmatif. Kegagalan mengembangkan fiqh transformatif pada giliranya akan menyebabkan fiqh tidak eksis memberikan pedoman yang berguna bagi realitas kehidupan masyarakat, yang oleh karena itu akan out of date. Pengembangan fiqh formatif juga diperlukan. Akan tetapi hal itu bukan dimaksudkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang berakibat berubahnya hukum, namun untuk memberikan legitimasi, baik filosofi maupun ilmiah sehingga hukum tersebut bertambah kokoh teryakini secara imani dan intelektual.
Sekalipun terhadap kedua-duanya harus dilakukan kajian pengembangan, namun jika diletakkan pada skala prioritas, tampaknya fiqh transformatif menduduki prioritas utama. Demikian ini dikarenakan fiqh transformatif menyangkut bagian terbesar dari aktifitas manusia. Lebih-lebih jika diperhatikan kajian di luar disiplin keislaman, telah melahirkan berbagai pengetahuan yang semakin terspesialisasi, sementara fiqh masih menempatkan kajian politik, ekonomi misalnya menjadi bagian, sedang kedua pengetahuan tersebut dewasa ini merupakan kajian yang berdiri sendiri tidak tergabung dalam disiplin hukum. Inilah salah satu kendala yang menyebabkan fiqh kurang dapat menjelaskan realitas kehidupan manusia dengan baik.
Sementara itu, terdapat sebab-sebab lain mengapa fiqh kurang dapat menjelaskan hal tersebut, serta kurang menampilkan wajah agama yang akomodatif terhadap perubahan. Sebab-sebab ini anatara lain terletak pada aspek manusianya. Dalam hal ini, fanatisme madzhab merupakan sebab yang menjadikan fiqh tidak akomodatif terhadap perubahan. Terutama jika suatu madzhab sudah tidak relevan lagi bagi upaya-upaya mewujudkan dan menampilkan asas kemashlatan dan keadilan yang merupakan elan vital hukum Islam. Tampaknya sering dilupakan, bahwa hasil-hasil ijtihad masa lampau itu pada umumnya terkait dengan kondisi dan situasi setempat, sehingga oleh karena itu bersifat ad hoc. Memang pada tempat dan waktu itu hasil ijtihad tersebut dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan umum syari’at. Akan tetapi karena sifatnya yang ad hoc maka dengan berubahnya tempat dan masa berubah pula tingkat dukungan itu, bahkan bisa menjadi nihil, bahkan lagi menjadi minus yang berarti justru melahirkan kemudlaratan-kemudlaratan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kemashlahatan dan keadilan.
Masih berkaitan dengan sebab-sebab di atas, pendekatan tekstual secara membabi buta terhadap nash juga dapat menyebabkan kegagalan fiqh mengakomodasi adanya perubahan. Oleh karena itu kajian ushul fiqh mengenai al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah dibarengi dengan al-qawa’id a;-ushuliyyah al-tasyri’iyyah. Berdasarkan kaidah, memang makna lafdhiy yang diutamakan, sepanjangtidak ada indikator yang memalingkannya. Akan tetapi harus diingat bahwa indikator itu juga termasuk ketika natijah hukum yang diambil itu bertentangan dengan asas dasar hukum Islam, misalnya kemashlatan umum dan keadilan. Dalam kondisi demikian kaidah kebahasan harus ditinggalkan, dan mesti beralih kepengurusan kaidah tasyri’iyah.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa fiqh sebagai khazanah intelektual Islam dibangun berdasarkan metodologi yang sophisticated yang tidak saja dalam wujudnya sebagai fiqh formatif, tetapi terutama pada bentuk transformatif. Orisinilitas menjadi perhatian penting dalam membangun fiqh formatif, yang dengan demikian blue print agama ini tetap terpelihara dengan baik. Elan Vital kemashlahatan telah menjadi fiqh transformatif menjadi khazanah dinamik dari gerakan pemikiran Islam yang senantiasa teraktualisasi sesuai dengan tuntutan kekinian dan kedisinian.
Berkenaan dengan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam konteks kemoderenan dewasa ini, apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman patut memperoleh perhatian. Metode penafsiran Qur’an yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dipergunakan berikut ini untuk mempersiapkan modifikasi di atas dengan beberapa penyesuaian. Pertama: Diperlukan pemahaman yang komprehenship historis terhadap nash-nash yang aplikasinya akan dimodifikasi untuk dapat melahirkan kemashlahatan dalam kontek kemoderenan. Kedua: Diperlukan upaya memilah-milah antara moral edeal nash dan legal spesifikasinya. Ketiga: Memahami perubahan-perubahan sosial serta berbagai tuntutannya dalam kaitanya dengan kemoderenan. Keempat:Memagangi moral edeal nash tersebut, kemudian merumuskan legal spesifik baru dalam upaya melakukan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam kontek kemoderenan dewasa ini.
Jika dibangun di atas prinsip seperti ini, fiqh akan mampu menghadirkan paradigma yang akomodatif terhadap perubahan-perubahan, dengan kata lain akan akan terwujud fiqh transformatif. Ini tidak berarti bahwa fiqh harus selalu transformatif, ada pula fiqh formatif, yaitu fiqh yang tidak akomodatif terhadap perubahan-perubahan. Fiqh jenis ini berkaitan dengan bidang ibadat pada umumnya. Fiqh formatif diperlukan untuk tetap terpeliharanya kemurnian hukum Islam, sedangkan fiqh transformatif diperlukan agar hukum tersebut tetap dapat eksis kapan dan di mana saja yakni tetap shalih li kull zaman wa makan.
ANTARA FIQH FORMATIF DAN FIQH TRANSFORMATIF
Ketika fiqh yang semestinya formatif dipandang transformatif, yang terjadi kemudian ialah masuknya ajaran-ajaran imitasi ke dalam Islam , atau tereduksinya ajaran-ajaran tersebut, Sehingga lenyap kemurniannya. Sedang jika fiqh yang seharusnya transformatif diperlakukan sebagai fiqh formatif, terjadilah fosilisasi dan oleh karena itu fiqh menjadi stagnant. Fiqh haruslah tetap dikembangkan, baik yang transformatif maupun yang fprmatif. Kegagalan mengembangkan fiqh transformatif pada giliranya akan menyebabkan fiqh tidak eksis memberikan pedoman yang berguna bagi realitas kehidupan masyarakat, yang oleh karena itu akan out of date. Pengembangan fiqh formatif juga diperlukan. Akan tetapi hal itu bukan dimaksudkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang berakibat berubahnya hukum, namun untuk memberikan legitimasi, baik filosofi maupun ilmiah sehingga hukum tersebut bertambah kokoh teryakini secara imani dan intelektual.
Sekalipun terhadap kedua-duanya harus dilakukan kajian pengembangan, namun jika diletakkan pada skala prioritas, tampaknya fiqh transformatif menduduki prioritas utama. Demikian ini dikarenakan fiqh transformatif menyangkut bagian terbesar dari aktifitas manusia. Lebih-lebih jika diperhatikan kajian di luar disiplin keislaman, telah melahirkan berbagai pengetahuan yang semakin terspesialisasi, sementara fiqh masih menempatkan kajian politik, ekonomi misalnya menjadi bagian, sedang kedua pengetahuan tersebut dewasa ini merupakan kajian yang berdiri sendiri tidak tergabung dalam disiplin hukum. Inilah salah satu kendala yang menyebabkan fiqh kurang dapat menjelaskan realitas kehidupan manusia dengan baik.
Sementara itu, terdapat sebab-sebab lain mengapa fiqh kurang dapat menjelaskan hal tersebut, serta kurang menampilkan wajah agama yang akomodatif terhadap perubahan. Sebab-sebab ini anatara lain terletak pada aspek manusianya. Dalam hal ini, fanatisme madzhab merupakan sebab yang menjadikan fiqh tidak akomodatif terhadap perubahan. Terutama jika suatu madzhab sudah tidak relevan lagi bagi upaya-upaya mewujudkan dan menampilkan asas kemashlatan dan keadilan yang merupakan elan vital hukum Islam. Tampaknya sering dilupakan, bahwa hasil-hasil ijtihad masa lampau itu pada umumnya terkait dengan kondisi dan situasi setempat, sehingga oleh karena itu bersifat ad hoc. Memang pada tempat dan waktu itu hasil ijtihad tersebut dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan umum syari’at. Akan tetapi karena sifatnya yang ad hoc maka dengan berubahnya tempat dan masa berubah pula tingkat dukungan itu, bahkan bisa menjadi nihil, bahkan lagi menjadi minus yang berarti justru melahirkan kemudlaratan-kemudlaratan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kemashlahatan dan keadilan.
Masih berkaitan dengan sebab-sebab di atas, pendekatan tekstual secara membabi buta terhadap nash juga dapat menyebabkan kegagalan fiqh mengakomodasi adanya perubahan. Oleh karena itu kajian ushul fiqh mengenai al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah dibarengi dengan al-qawa’id a;-ushuliyyah al-tasyri’iyyah. Berdasarkan kaidah, memang makna lafdhiy yang diutamakan, sepanjangtidak ada indikator yang memalingkannya. Akan tetapi harus diingat bahwa indikator itu juga termasuk ketika natijah hukum yang diambil itu bertentangan dengan asas dasar hukum Islam, misalnya kemashlatan umum dan keadilan. Dalam kondisi demikian kaidah kebahasan harus ditinggalkan, dan mesti beralih kepengurusan kaidah tasyri’iyah.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa fiqh sebagai khazanah intelektual Islam dibangun berdasarkan metodologi yang sophisticated yang tidak saja dalam wujudnya sebagai fiqh formatif, tetapi terutama pada bentuk transformatif. Orisinilitas menjadi perhatian penting dalam membangun fiqh formatif, yang dengan demikian blue print agama ini tetap terpelihara dengan baik. Elan Vital kemashlahatan telah menjadi fiqh transformatif menjadi khazanah dinamik dari gerakan pemikiran Islam yang senantiasa teraktualisasi sesuai dengan tuntutan kekinian dan kedisinian.
1 komentar:
Ustadz teori tanpa contoh aplikasi kayaknya menjadi kata yang lepas dari jangkarnya. Karena ketidakjelasan kontek teori yang dimaksud.
Bagaimana kalau pemaparan teori itu lebih dikongketkan dengan permasahan kekinian dan kedisinian. Misalnya saja memilih wakil untuk duduk di DPRD, DPRD I, DPRD RI dan DPD. Ataupun masalah keluarga misalnya poligami.
Saya rasa teori akan lebih dipahami kontek aplikasinya dan menjadi komunikatet kalau enggak ya sukar dipahami.
Posting Komentar